Selamat Datang di Situs Resmi MTs. Hasan Jufri

Etos Kerja Guru

ETOS KERJA GURU

1.   Pengertian Etos Kerja
“Etos” dari sudut pandang bahasa berasal dari bahasa Yunani “ethos” yang bermakna watak atau karakter. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993:271) makna lengkap “etos” adalah “karakteristik, sikap, kebiasaan, kepercayaan, dan seterusnya, yang bersifat khusus tentang individu atau sekelompok manusia”. Dalam Webster’s News World Dictionary of the American Languange (1980) dikemukakan istilah “etos” berhubungan dengan “etika”, “etis”, yakni “kualitas esensial seseorang atau suatu kelompok atau organisasi.” Sedangkan (Echols dan Shadily 1994;219) mengartikan “etos” sebagai jiwa khas suatu kelompok manusia. Berdasarkan jiwa yang khas itulah berkembang pandangan seseorang individu atau kelompok (organisasi) tentang sesuatu yang baik dan sesuatu yang buruk.
Etos kerja dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993:271) diartikan sebagai “semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau sesuatu kelompok”. Dalam pengertian seperti inilah, maka negara industri baru (INC = Newly Industrializing Countries) seputas Indonesia, yaitu Korea Selatan, Taiwan, Hongkong, dan Singapore, seringkali disebut sebagai “Little Dragong” (naga-naga kecil). Maksudnya, NIC adalah negara konfusionis, yaitu penganut ajaran Kong Hu Cu, dengan naga sebagai binatang mitologis dalam sistem kepercayaan mereka. Dengan ungkapan lain, sebutan itu menunjukkan anggapan bahwa NIC menjadi maju adalah berkat ajaran atau etika Kong Hu Cu. Dengan begitu, maka untuk kemajuan negara-negara tersebut ; Kreditan, pujian, dan penghargaan diberikan kepada ajaran-ajaran Kong Hu Cu, dengan pandangan yang hampir memastikanbahwa negara-negara itu maju karena ajaran filsuf Cina itu. Selanjutnya kesimpulanpun dibuat bahwa etika Kong Hu Cu memang relevan, bahwa begitu mendukung bagi usaha-usaha modernisasi dan pembangunan bangsa industrial (Tu Wei-Ming 1984:20). Disisi lain ternyata etos kerja sangat sarat dengan persoalan sikap yang ada pada seseorang dalam melakukan kerjanya. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Myrdal (dalam Soebagio Atmowirio, 2000:214) bahwa etos kerja adalah sikap kehendak seseorang yang diekspresikan lewat semangat yang didalamnya termuat tekanan-tekanan moral dan nilai-nilai tertentu. Myrdal lebih jauh mengemukakan pula bahwa etos kerja merupakan sikap yang diambil berdasarkan tanggung jawab moralnya :
a)      kerja keras
b)      efisiensi
c)      kerajinan
d)     tepat waktu
e)      prestasi
f)       energetic
g)      kerja sama
h)      jujur
i)        loyal
Etos kerja yang jelas menggambarkan hal-hal yang bersifat normatif sebagai sikap kehendak yang dituntut agar dikembangkan. Tindak lanjut dari etos kerja ini yaitu meningkatnya kualitas kerja para guru sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan dalam setiap semester maupun periode tahunan.
Berdasarkan batasan diatas, etos kerja guru dapat dijadikan sebagai suatu pokok pikiran utama dalam dunia pendidikan yang ada di Indonesia, dimana etos kerja guru tersebut dalam suatu organisasi sekolah mutlak dibutuhkan untuk meningkatkan efesiensi dan efektifitas proses pelaksanaan tugas pembelajaran disatuan pendidikan sekolah. Dengan demikian, upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan dapat dicapai. Dengan begitu bangsa Indonesia dapat mensejajarkan dirinya dengan bangsa-bangsa maju lainnya dikawasan Asia khususnya dan dunia pada umumnya.
Etos kerja guru yang tinggi akan banyak menentukan keberhasilan usaha dan proses pembelajaran di sekolah. Karena itu, masalah tersebut menarik untuk diperhatikan dan dianalisis dalam suatu organisasi sekolah yang didalamnya menyangkut berbagai keputusan termasuk keputusan para guru itu sendiri. Mengenai etos kerja ini, Soebagio Atmowirio (2000:232) mengemukakan bahwa “etos kerja merupakan pandangan dan sikap seseorang dalam menilai apa arti kerja sebagai bagian dari hidup dalam rangka meningkatkan kehidupannya”. Selanjutnya Soebagio Admowirio (2000:233) secara lebih spesifik menjelaskan pengertian etos kerja sebagai berikut : “Etos kerja adalah landasan untuk meningkatkan prestasi kerja/kinerja setiap Pegawai Negeri Sipil (PNS)”. Mengacu pada batasan tersebut, maka etos kerja guru dalam menjalankan tugasnya disekolah. Dalam hal ini etos kerja guru dipandang dari segi pelaksanaan tugas-tugas profesionalisme.                                                                                                                  
2.      Etos Kerja Guru
Dalam upaya meningkatkan etos kerja guru, menurut Wahjosumidjo (1999:92), bahwa “kepala sekolah adalah seorang yang dapat menentukan titik pusat dan irama suatu sekolah”. Jika kepala sekolah cakap maka tentunya akan besar perhatiannya pada etos kerja baik yang menyangkut guru maupun peserta didik sejak masuk sekolah sampai dengan kembali kerumah masing-masing. Kepala sekolah juga berpikir dan berusaha bagaimana guru merasa nyaman di sekolah, senang dalam bekerja dan memperoleh kesejahteraan yang memadai.
Sejalan dengan itu Sergiovanni (1987:269), menyebutkan:  “School Improvement requires a strong commitment from the principle”. Pernyataan tersebut memberikan pengertian bahwa perbaikan sekolah itu sesungguhnya berada pada komitmen kuat kepala sekolah. Oleh sebab itu kepala sekolah juga di tuntut untuk memiliki kemampuan, terampil, cerdas untuk mewujudkan iklim kerja  yang sehat, sehingga akan tercipta etos kerja pada guru di sekolah. Jika iklim suatu organisasi dapat merangsang iklim kerja, tersedia sarana dan prasarana yang memadai bagi para guru dan peserta didik, maka iklim kerja yang demikian akan memberikan sumbangan yang besar bagi peningkatan etos kerja guru.
Disamping itu, guru sangat memegang peranan penting dalam pencapaian tujuan pendidikan. Terbukti bahwa peran dan fungsi guru di dalam proses belajar mengajar masih sangat dominan. Dengan demikian agar tujuan pendidikan dapat berhasil baik dan optimal sangat tergantung pada peran guru.
Dalam meningkatkan etos kerja, guru senantiasa diperhadapkan pada peningkatan kualitas pribadi dan sosialnya. Jika hal ini dapat dipenuhi maka keberhasilan lebih cepat diperoleh, yaitu mampu melahirkan peserta didik yang berbudi luhur, memiliki karakter sosial dan profesional sebagaimana yang menjadi  tujuan pokok pendidikan itu sendiri. Menurut Thoifuri (2007:3-4), bahwa karakter pribadi dan sosial bagi guru dapat diwujudkan sebagai berikut:
1)      Guru hendaknya pandai, mempunyai wawasan luas.
2)      Guru harus selalu meningkatkan keilmuannya.
3)      Guru meyakini bahwa apa yang disampaikan itu benar dan bermanfaat.
4)      Guru hendaknya berpikir obyektif dalam menghadapi masalah.
5)      Guru hendaknya mempunyai dedikasi, motivasi dan loyalitas.
6)      Guru harus bertanggung jawab terhadap kualitas dan kepribadian moral.
7)      Guru harus mampu merubah sikap siswa yang berwatak manusiawi.
8)      Guru harus menjauhkan diri dari segala bentuk pamrih dan pujian.
9)      Guru harus mampu mengatualisasikan materi yang disampaikan.
10)  Guru hendaknya banyak inisiatif sesuai perkembangan iptek.

Karakter guru tersebut di atas merupakan ciri kehidupan seorang guru yang amat fundamental dan dengan keprofesionalan guru itulah akan terjadi motivasi, dinamisasi dan demokratisasi pemikiran yang akan mengarah kepada kreaktivitas yang konstruktif  dalam menciptakan  etos kerja di masa kini dan masa yang akan datang. Untuk mewujudkan semua itu tentunya membutuhkan dukungan dari berbagai pihak termasuk dari masyarakat.
Pada tataran implementasi etos kerja guru dapat terlihat dalam kegiatan guru pada saat pelaksanaan kegiatan belajar mengajar, itulah sebabnya untuk mengukur efektifitas etos kerja guru perlu mengkomparasikan dengan kepemimpinan kepala sekolah. Kepala sekolah yang cakap tentunya akan menaruh perhatian pada etos kerja bawahannya.
Salah satu teori berkaitan dengan peningkatan etos kerja sebagaimana yang dikemukan oleh Mitchel,T.R dan Larson (1987:343) bahwa indikator-indikator atau ukuran-ukuran kinerja guru meliputi :
a)      kemampuan
b)      prakarsa/inisiatif
c)      ketepatan waktu
d)     kualitas hasil kerja
e)      komunikasi.

A.    Kemampuan Guru
Broke dan Stoine (dalam Wijaya & Rusyan 1992:7-8),  menjelaskan bahwa kemampuan merupakan gambaran hakikat kualitatif dari  perilaku guru atau tenaga kependidikan yang tampak sangat berarti. Sedangkan Robins,1998:46 (dalam Sitio 2006),  mendefinisikan kemampuan adalah kapasitas individu melaksanakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan.
Charles E. Jhonsons et al (1974:3) (dalam Wijaya dan A. Tabrani Rusyan 1992:8), mendefinisikan bahwa kemampuan merupakan perilaku yang rasional untuk mencapai tujuan yang dipersyaratkan sesuai dengan kondisi yang diharapkan. Kemampuan merupakan salah satu hal yang harus dimiliki dalam jenjang apapun karena kemampuan memiliki kepentingan tersendiri dan sangat penting untuk dimiliki oleh guru. Berhasil tidaknya pendidikan pada sebuah sekolah salah satu komponennya ialah guru itu sendiri.
B.     Inisiatif Guru
Menurut kamus Bahasa Besar Indonesia inisiatif berarti usaha sendiri, langkah awal, ide baru. Berinisiatif berarti mengembangkan dan memberdayakan sektor kreatifitas daya pikir manusia, untuk merencanakan idea atau buah pikiran menjadi konsep yang baru yang pada gilirannya diharapkan dapat berdaya guna dan bermanfaat.
Manusia yang berinisiatif adalah manusia yang tanggap terhadap segala perkembangan yakni manusia yang pandai membaca, menghimpun dan meneliti, manusia yang inisiatif juga dapat memanfaatkan setiap peluang di setiap pergantian waktu, dan menjadikannya sebagai kreasi yang berarti.
Keistimewaan dari inisiatif ini sendiri yaitu mampu mencermati kreasi Tuhan, selanjutnya menjadikan bahan renungan atau kreatifitas berpikir dalam semua waktu dan tempat, kemudian membuat kreasi baru (karya baru) atau berinisiatif memproduksi semua potensi menjadi berdaya guna.
C.     Ketepatan Waktu Kerja
Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, sebelum masuk dalam sebuah organisasi pendidikan seorang guru tentu mempunyai aturan, nilai dan norma sendiri, yang merupakan proses sosialisasi dari keluarga atau masyarakatnya. Seringkali terjadi aturan, nilai dan norma diri yang tidak sesuai dengan aturan-aturan sekolah yang ada. Hal ini menimbulkan konflik sehingga orang mudah tegang, marah, atau tersinggung apabila orang terlalu menjunjung tinggi salah satu aturannya. Misalnya, seorang guru yang selalu tepat waktu mengajar sementara itu iklim di sekolah kurang menjunjung tinggi nilai-nilai penghargaan terhadap waktu. Jika guru tersebut memegang teguh prinsip-prinsipnya sendiri, ia akan tersisih dari teman sekerjanya. Demikian sebaliknya, jika ikut arus maka ia akan mengalami stres, oleh karenanya ia harus menyesuaikan diri; tidak ikut arus, tetapi juga tidak kaku. Ia jika perlu mempelopori kepatuhan terhadap waktu kepada teman sejawatnya.
Ketepatan waktu dalam melaksanakan tugas diartikan sebagai sikap seseorang atau kelompok yang berniat untuk mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan. Dalam kaitannya dengan pekerjaan, pengertian ketepatan waktu atau  disiplin kerja adalah suatu sikap dan tingkah laku yang menunjukkan ketaatan karyawan terhadap peraturan organisasi. Niat untuk mentaati peraturan menurut Suryohadiprojo (1989:65) merupakan suatu kesadaran bahwa tanpa didasari unsur ketaatan, tujuan organisasi tidak akan tercapai. Hal  itu berarti bahwa sikap dan perilaku di dorong adanya kontrol diri yang kuat. Artinya,sikap dan perilaku untuk mentaati peraturan organisasi muncul dari dalam dirinya. Niat juga dapat diartikan sebagai keinginan untuk berbuat sesuatu atau kemauan untuk menyesuaikan diri dengan aturan-aturan. Sikap dan perilaku dalam disiplin kerja ditandai oleh berbagai inisiatif, kemauan, dan kehendak untuk mentaati peraturan. Artinya, orang yang dikatakan mempunyai disiplin yang tinggi tidak semata-mata patuh dan taat terhadap peraturan secara kaku dan mati, tetapi juga mempunyai kehendak (niat).
D.    Kualitas Hasil Kerja Guru
Pengertian kualitas hasil kerja disebut juga sebagai kinerja atau dalam bahasa Inggris disebut dengan performance. Pada prinsipnya, ada istilah lain yang lebih menggambarkan pada “kualitas” atau “prestasi” dalam bahasa Inggris yaitu kata “achievement”. Tetapi karena kata tersebut berasal dari kata “to achieve” yang berarti “mencapai”, maka dalam bahasa Indonesia sering diartikan menjadi “pencapaian” atau “apa yang dicapai”. (Ruky, 2001:15). Menurut  Hasibuan (1990), prestasi kerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman, kesungguhan, serta waktu.
Dari definisi diatas dapat dipahami bahwa kualitas kerja lebih menekankan pada hasil atau yang diperoleh dari sebuah pekerjaan sebagai kontribusi pada sekolah atau standar pencapaian hasil akhir dari guru-guru yang ada di sekolah dalam memnuhi kebutuhan dari peserta didik. Untuk meningkatkatkan kualitas hasil kerja tentunya dipengaruhi oleh faktor organisasional (sekolah) dan factor personal.
Faktor organisasional meliputi sistem imbal jasa, kualitas pengawasan, beban kerja, nilai dan minat, serta kondisi fisik dari lingkungan kerja. Diantara berbagai faktor organisasional tersebut, faktor yang paling penting adalah faktor sistem imbal jasa, dimana faktor tersebut akan diberikan dalam bentuk gaji, bonus, ataupun promosi. Selain itu, faktor organisasional kedua yang juga penting adalah kualitas pengawasan (supervision quality), dimana seorang bawahan dapat memperoleh kepuasan kerja jika atasannya lebih kompeten dibandingkan dirinya.
Sementara faktor personal meliputi ciri sifat kepribadian (personality trait), senioritas, masa kerja, kemampuan ataupun keterampilan yang berkaitan dengan bidang pekerjaan dan kepuasan hidup. Untuk faktor personal, faktor yang juga penting dalam mempengaruhi prestasi kerja adalah faktor status dan masa kerja. Pada umumnya, orang yang telah memiliki status pekerjaan yang lebih tinggi biasanya telah menunjukkan prestasi kerja yang baik. Status pekerjaan tersebut dapat memberikannya kesempatan untuk memperoleh masa kerja yang lebih baik, sehingga kesempatannya untuk semakin menunjukkan prestasi kerja juga semakin besar.
Di samping itu juga prestasi kerja seseorang tergantung juga dari  kesempatan, kapasitas, dan kemauan untuk melakukan prestasi. Kapasitas terdiri dari usia, kesehatan, keterampilan, inteligensi, keterampilan motorik, tingkat pendidikan, daya tahan, stamina, dan tingkat energi. Kemauan terdiri dari motivasi, kepuasan kerja, status pekerjaan, kecemasan, legitimasi, partisipasi, sikap, persepsi atas karakteristik tugas, keterlibatan kerja, keterlibatan ego, citra diri, kepribadian, norma, nilai, persepsi atas ekspektasi peran, dan rasa keadilan. Sedangkan kesempatan meliputi alat, material, pasokan, kondisi kerja, tindakan rekan kerja, perilaku pimpinan, mentorisme, kebijakan, peraturan, prosedur organisasi, informasi, waktu, serta gaji yang didapatkan.
E.     Komunikasi Guru
Komunikasi merupakan bagian yang penting dalam kehidupan kerja. Hal ini mudah dipahami sebab komunikasi yang tidak baik bisa mempunyai dampak yang luas terhadap kehidupan organisasi, misalnya konflik antar guru, dan sebaliknya komunikasi yang baik dapat meningkatkan saling pengertian, kerjasama dan juga kepuasan kerja. Mengingat yang bekerjasama dalam suatu organisasi dalam rangka mencapai tujuan merupakan sekelompok sumber daya manusia dengan berbagai karakter, maka komunikasi yang terbuka harus dikembangkan dengan baik. Dengan demikian masing-masing pegawai dalam organisasi mengetahui tanggung jawab dan wewenang masing-masing. Guru-guru yang mempunyai kompetensi komunikasi yang baik akan mampu memperoleh dan mengembangkan tugas yang diembannya, sehingga tingkat kinerjanya menjadi semakin baik. Komunikasi memegang peranan penting di dalam menunjang kelancaran aktivitas pegawai di sekolah. Adapun komunikasi yang di bangun di sekolah ini antara lain:
a.       Komunikasi ke bawah (downward communication) atau komunikasi kepala sekolah dengan para guru dan staf tata usaha.
Yaitu komunikasi yang datang dari kepala sekolah SMP Negeri 5 Bitung kepada seluruh warga sekolah dan bersifat intern. Seperti instruksi tugas, rasionalisasi pekerjaan, informasi, idiologi, dan balikan.
b.      Komunikasi keatas (upward communication) atau komunikasi guru dan karyawan kepada kepala sekolah.
Adalah arus komunikasi yang bergerak dari bawah keatas. Pesan yang disampaikan antara lain laporan pelaksanaan pekerjaan, keluhan guru, sikap dan perasaan guru tentang kendala yang dihadapi pada proses kegiatan belajar mengajar, pengembangan media pembelajaran, informasi tentang pembagian jadwal mengajar dan hasil yang dicapai oleh siswa, dll.
c.       Komunikasi Horisontal (horizontal comunication)
Komunikasi yang di bangun di antara para guru-guru mata pelajaran, guru kelas dalam rangka  kerja yang sama demi untuk meningkatkan hasil belajar siswa serta kemajuan sekolah.
3.      Fungsi dan Manfaat Etos Kerja Guru
Pada umumnya berbicara etos kerja sangat terkait dengan peningkatan kualitas kerja seseorang dalam suatu kekuatan. Itulah sebabnya, menurut Soebagio Atmowirio sebagaimana dikemukakan diatas mengatakan bahwa etos kerja itu merupakan landasan untuk meningkatkan unjuk kerja guru. Etos kerja dengan demikian berfungsi secara fundamental sebagai landasan pencapaian unjuk kerja yang tinggi.
Dalam hal etos kerja ini, Triguno (2002:9) menyatakan bahwa “program peningkatan etos (budaya) kerja memiliki arti yang sangat fundamental bagi setiap organisasi, karena akan merubah sikap dan perilaku sumber daya manusia untuk mencapai produktivitas kerja atau unjuk kerja yang lebih tinggi dalam menghadapi tantangan masa depan”. Lanjut Triguno, manfaat yang didapat dari membudayanya etos kerja antara lain sebagai berikut: menjamin hasil kerja dengan kualitas yang lebih baik, membuka seluruh jaringan komunikasi, keterbukaan, kebersamaan, kegotong-royongan, kekeluargaan, menemukan kesalahan dan cepat memperbaiki, cepat menyesuaikan diri dengan perkembangan dari luar (faktor eksternal seperti pelanggan, teknologi, sosial, ekonomi, dan lain-lain), mengurangi laporan berupa data-data dan informasi yang salah dan palsu. Selain manfaat diatas, etos kerja yang tinggi pada dasarnya akan menjadikan tingkat efesiensi dalam melakukan pekerjaan tinggi, kerajinan meningkat atau tingkat absensi kurang, sikap tepat waktu atau disiplin, bersedia untuk melakukan perubahan atau fleksibel, kegesitan dalam mempergunakan kesempatan-kesempatan yang muncul, siap bekerja, dan sikap bekerjasama.
Hal diatas senada dengan Triguno (2002:9) yang menyatakan bahwa terciptanya etos kerja yang tinggi yang disebutnya sebagai budaya kerja akan meningkatkan kepuasan kerja, pergaulan yang lebih akrab, disiplin meningkat, pengawasan fungsional berkurang, pemborosan berkurang (efisien), tingkat absensi turun, ingin belajar terus, ingin memberikan yang terbaik bagi organisasi dan lain-lain.
Selanjutnya Wolseley & Campbell (dalam Triguno, 2002: 9-10) menyatakan sebagai berikut :
1)      Orang yang terlatih melalui kelompok budaya kerja akan menyukai kebebasan, pertukaran pendapat, terbuka bagi gagasan-gagasan baru dan fakta baru dalam usahanya untuk mencari kebenaran, mencocokkan apa yang ada padanya dengan kedahsyatan dan daya imajinasi seteliti mungkin dan seobjektif mungkin.
2)      Orang yang terlatih dalam kelompok budaya kerja akan memecahkan permasalahan sebara mandiri dengan bantuan keahliannya berdasarkan metode ilmu pengetahuan, dibangkitkan oleh pemikiran yang kritis kreatif, tidak menghargai penyimpangan akal bulus dan pertentangan.
3)      Orang yang terdidik melalui kelompok budaya kerja berusaha menyesuaikan diri antara kehidupan pribadinya dengan kebiasaan sosialnya, baik nilai-nilai spiritual maupun standar-standar etika yang fundamental untuk menyerasikan kepribadian dan moral karakternya.
4)      Orang yang terdidik dalam kelompok budaya kerja mempersiapkan dirinya dengan pengetahuan umum dan keahlian-keahlian khusus dalam mengelola tugas atau kewajiban dan bidangnya, demikian juga dengan hal berproduksi dan pemenuhan kebutuhan hidupnya.
5)      Orang yang terlatih dalam kelompok budaya kerja akan memahami dan menghargai lingkungannya seperti alam, ekonomi, sosial, politik, budaya dan menjaga kelestarian sumber-sumber alam, memelihara stabilitas dan kontinuitas masyarakat yang bebas sebagai suatu kondisi yang harus ada.
6)      Orang yang terlatih dalam kelompok budaya kerja berpartisipasi dengan loyal kepada kehidupan rumah tangganya, sekolah, masyarakat dan bangsanya, penuh tanggung jawab sebagai manusia merdeka dengan mengisi kemerdekaannya, serta memberi tempat secara berdampingan kepada oposisi yang bereaksi dengan yang memegang kekuasaan sebaik mungkin.
Dari keenam manfaat budaya kerja atau etos kerja sebagaimana dikemukakan Wolseley & Campbell di atas, jelaslah bahwa peningkatan etos kerja ini menjadi mutlak sekaligus pilihan orientasi bangsa kini dan dimasa depan. Hal ini penting, mengingat bahwa bangsa Indonesia memang menderita kelemahan etos kerja (Louis Kraar dalam majalah Reader’s Digest edisi 1988:44), keberhasilan Jepang, Cina dan Korea, misalnya dalam membangun perekonomian mereka adalah karena etos kerja yang memiliki bangsa-bangsa itu tinggi. Artinya etos kerja memberikan manfaat yang signifikan terhadap pencapaian prestasi kerja atau untuk unjuk kerja guru tinggi dan berkualitas.
4.      Langkah-langkah Pengembangan Etos Kerja Guru
Pengembangan etos kerja pada dasarnya merupakan suatu upaya  yang bersifat wajib dilakukan oleh setiap guru, kepala sekolah maupun staf administrasi. Usaha untuk mengembangkan etos kerja guru terfokus pada peningkatan produktifitas mengajar yang dilakukan oleh guru di sekolah. Secara umum  menurut Triguno (2002: 141-142) upaya yang harus ditempuh dalam pengembangan  etos kerja tersebut adalah sebagai berikut :
1)      Peningkatan produktifitas melalui penumbuhan etos kerja.Tumbuhnya etos kerja akan memberikan suatu formulasi baru dalam meningkatkan potensi pribadi yang dimiliki oleh setiap guru di jenjang pendidikan formal.
2)      Sistim pendidikan perlu disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan yang memerlukan berbagai keahlian dan ketrampilan yang dapat meningkatkan kreativitas, produktivitas, kualitas, dan efisiensi kerja.
3)      Dalam melanjutkan dan meningkatkan pembangunan khususnya dalam bidang pendidikan sebaiknya nilai budaya Indonesia terus dikembangkan dan dibina guna mempertebal rasa harga diri dan nilai pendidikan sangat dibutuhkan dalam mengedepankan etos kerja para guru yang ada di lembaga pendidikan.
4)      Disiplin nasional harus terus dibina dan dikembangkan untuk memperoleh sikap mental manusia yang produktif.
5)      Menggalakkan partisipasi masyarakat, meningkatkan dan mendorong agar terjadi perubahan dalam masyarakat tentang tigkah laku, sikap serta psikologi masyarakat. Dampak dari etos kerja para guru yang ada dalam suatu lembaga pendidikan formal tidak lain adalah sebagaimana paparan tersebut diatas. Contoh yang positif terhadap masyarakat tentang cara dalam meningkatkan etos kerja yang diharapkan.
6)      Menumbuhkan motifasi kerja, dari sudut pandang pekerja, kerja berarti pengorbanan, baik itu pengorbanan waktu senggang atau kenikmatan hidup lainnya, semantara itu upah merupakan ganti rugi dari segala pengorbanannya itu. Bagi guru, dimensi seperti yang diharapkan diatas sangat memberi peluang yang besar dalam meningkatkan etos kerjanya.
Upaya-upaya pengembangan etos kerja diatas paling tidak harus terus dilakukan secara teratur dan berkesinambungan untuk mendapatkan hasil yang diharapkan. Tanpa dilakukan secara teratur, mustahil suatu jenis pekerjaan dapat memberikan suatu peningkatan hasil dan kondusifitas pekerjaan dapat berjalan dengan baik. Upaya seperti ini perlu direalisasikan apabila tujuan-tujuan yang telah disepakati tercapai dalam suatu tatanan pekerjaan dalam rangka membentuk sikap mental dan etos kerja lebih bersifat produktif. Relefansi peningkatan etos kerja guru ini karena sekolah sebagai organisasi yang melibatkan tenaga kerja manusia, khususnya dalam meningkatkan produktifitas kerja sesuai dengan target waktu dan usaha yang ditetapkan oleh setiap sekolah sebagai sebuah organisasi.
Suatu hal yang menarik jika dicermati secara serius, bahwa lembaga pendidikan sekarang ini sangat antusias untuk mengubah tatanan kerja yang kurang kondusif, menjadikan sekolah sebagai lembaga yang benar-benar kondusif dengan etos kerja anggota organisasinya yang ideal sebagaimana batasan yang dikemukakan diatas. Langkah-langkah seperti itu merupakan suatu upaya untuk meningkatkan etos kerja seorang guru sebagai pekerja pendidikan. Bagi guru, etos kerja bukan hal yang baru, sebab etos kerja sudah merupakan tuntutan profesionalisme seorang guru. Etos kerja yang tinggi sudah harus menjadi komitmen guru ketika dia harus mengabdikan dirinya dalam suatu kegiatan mengajar, mendidik dan memimpin, serta mengelolah anak didik di sekolah. Artinya bahwa etos kerja telah ada pada guru ketika dia telah diperhadapkan dengan jenis pekerjaan tersebut, hanya saja tingkat pengembangan etos kerja yang ada perlu dikembangkan sesuai dengan yang diharapkan.
Barometer sikap mental seorang guru dapat meningkatkan etos kerjanya sangat terkait dengan seberapa besar pengorbanannya dalam melakukan upaya-upaya perbaikan dalam pelaksanaan tugasnya (Triguno 2002:3). Lanjut Triguno, hal tersebut dapat dilihat dari sejauh mana tingkat komitmen diri para guru untuk menumbuhkan etos kerja sebagaimana yang diharapkan, meningkatkan disiplin kerja sesuai dengan aturan yang telah disepakati, serta menumbuhkan sikap-sikap inovatif dalam pekerjaannya. Untuk itulah dalam konteks lembaga sekolah, perlu adanya motifasi yang kuat dari dalam diri maupun dari luar diri guru untuk mengembangkan etos kerja yang maksimal. Peningkatan etos kerja merupakan bagian dari motivasi yang kuat dalam memberikan dorongan pemikiran dan kebijaksanaan yang tertuang dalam perencanaan dan program yang terpadu dan disesuaikan dengan situasi dan kondisi eksteren maupun interen organisasi.
Dari pembahasan tersebut di atas, menurut penulis setiap orang pasti punya masalah dengan semangat kerja? Jangan gundah gulana, anda tidak sendirian. Banyak orang lain yang punya problem serupa. Namun, bukan tidak ada solusinya! Hampir semua orang pernah mengalami gairah kerjanya melorot.
Cara terbaik untuk mengatasinya, dengan langsung membenahi pangkal masalahnya, yaitu motivasi kerja. Itulah akar yang membentuk etos kerja. Secara sistematis, Jansen (2010:24) memetakan motivasi kerja dalam konsep yang ia sebut sebagai “Delapan Etos Kerja Profesional” yaitu:
Ø  Etos pertama: Kerja adalah rahmat.
Apa pun pekerjaan kita, entah pengusaha, pegawai kantor, guru sampai buruh kasar sekalipun, adalah rahmat dari Tuhan. Anugerah itu kita terima tanpa syarat, seperti halnya menghirup oksigen dan udara tanpa biaya sepeser pun. Bakat dan kecerdasan yang memungkinkan kita bekerja adalah anugerah. Dengan bekerja, setiap tanggal muda kita menerima gaji untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dengan bekerja kita punya banyak teman dan kenalan, punya kesempatan untuk menambah ilmu dan wawasan, dan masih banyak lagi. Semua itu anugerah yang patut disyukuri. Sungguh kelewatan jika kita merespons semua nikmat itu dengan bekerja ogah-ogahanan
Ø  Etos kedua: Kerja adalah amanah.
Apa pun pekerjaan kita, pramuniaga, pegawai negeri, atau anggota DPR, semua adalah amanah. Pramuniaga mendapatkan amanah dari pemilik toko. Pegawai negeri menerima amanah dari negara. Anggota DPR menerima amanah dari rakyat. Etos ini membuat kita bisa bekerja sepenuh hati dan menjauhi tindakan tercela, misalnya korupsi dalam berbagai bentuknya.
Ø  Etos ketiga: Kerja adalah panggilan.
Apa pun profesi kita, perawat, guru, penulis, semua adalah darma. Seperti darma Yudistira untuk membela kaum Pandawa. Seorang perawat memanggul darma untuk membantu orang sakit. Seorang guru memikul darma untuk menyebarkan ilmu kepada para muridnya. Seorang penulis menyandang darma untuk menyebarkan informasi tentang kebenaran kepada masyarakat.
Jika pekerjaan atau profesi disadari sebagai panggilan, kita bisa berucap pada diri sendiri, “I’m doing my best!” Dengan begitu kita tidak akan merasa puas jika hasil karya kita kurang baik mutunya.
Ø  Etos keempat: Kerja adalah aktualisasi.
Apa pun pekerjaan kita, entah dokter, akuntan, ahli hukum, semuanya bentuk aktualisasi diri. Meski kadang membuat kita lelah, bekerja tetap merupakan cara terbaik untuk mengembangkan potensi diri dan membuat kita merasa “ada”. Bagaimanapun sibuk bekerja jauh lebih menyenangkan daripada duduk bengong tanpa pekerjaan.
Secara alami, aktualisasi diri itu bagian dari kebutuhan psikososial manusia. Dengan bekerja, misalnya, seseorang bisa berjabat tangan dengan rasa percaya diri ketika berjumpa dengan temannya. “Perkenalkan, nama Saya Zakir Hubulo,S.Sos,M.Pd Guru Profesional Sosiologi sekaligus Waka Hubmas MA Yaspib Bitung.(Mantap To...)
Ø  Etos kelima: Kerja itu ibadah.
Tak peduli apa pun agama atau kepercayaan kita, semua pekerjaan yang halal merupakan ibadah. Kesadaran ini pada gilirannya akan membuat kita bisa bekerja secara ikhlas, bukan demi mencari uang atau jabatan semata. Jansen mengutip sebuah kisah zaman Yunani kuno seperti ini:
Seorang pemahat tiang menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk mengukir sebuah puncak tiang yang tinggi. Saking tingginya, ukiran itu tak dapat dilihat langsung oleh orang yang berdiri di samping tiang. Orang-orang pun bertanya, buat apa bersusah payah membuat ukiran indah di tempat yang tak terlihat? Ia menjawab, “Manusia memang tak bisa menikmatmnya. Tapi Tuhan bisa melihatnya.” Motivasi kerjanya telah berubah menjadi motivasi transendental.
Ø  Etos keenam: Kerja adalah seni.
Apa pun pekerjaan kita, bahkan seorang peneliti pun, semua adalah seni. Kesadaran ini akan membuat kita bekerja dengan enjoy seperti halnya melakukan hobi. Jansen mencontohkan Edward V Appleton, seorang fisikawan peraih nobel. Dia mengaku, rahasia keberhasilannya meraih penghargaan sains paling begengsi itu adalah karena dia bisa menikmati pekerjaannya.
“Antusiaslah yang membuat saya mampu bekerja berbulan-bulan di laboratorium yang sepi,” katanya. Jadi, sekali lagi, semua kerja adalah seni. Bahkan ilmuwan seserius Einstein pun menyebut rumus-rumus fisika yang sangat rumit itu dengan kata sifat beautiful.
Ø  Etos ketujuh: Kerja adalah kehormatan.
Serendah apa pun pekerjaan kita, itu adalah sebuah kehormatan. Jika bisa menjaga kehormatan dengan baik, maka kehormatan lain yang lebih besar akan datang kepada kita. Jansen mengambil contoh etos kerja Pramoedya Ananta Toer. Sastrawan Indonesia kawakan ini tetap bekerja (menulis), meskipun ia dikucilkan di Pulau Buru yang serba terbatas. Baginya, menulis merupakan sebuah kehormatan. Hasilnya, kita sudah mafhum. Semua novelnya menjadi karya sastra kelas dunia.
Ø  Etos kedelapan: Kerja adalah pelayanan.
Apa pun pekerjaan kita, pedagang, polisi, bahkan penjaga mercu suar, semuanya bisa dimaknai sebagai pengabdian kepada sesama. Pada pertengahan abad ke-20 di Prancis, hidup seorang lelaki tua sebatang kara karena ditinggal mati oleh istri dan anaknya. Bagi kebanyakan orang, kehidupan seperti yang ia alami mungkin hanya berarti menunggu kematian. Namun bagi dia, tidak. Ia pergi ke lembah Cavennen, sebuah daerah yang sepi. Sambil menggembalakan domba, ia memunguti biji oak, lalu menanamnya di sepanjang lembah itu. Tak ada yang membayarnya. Tak ada yang memujinya. Ketika meninggal dalam usia 89 tahun, ia telah meninggalkan sebuah warisan luar biasa, hutan sepanjang 11 km! Sungai-sungai mengalir lagi. Tanah yang semula tandus menjadi subur. Semua itu dinikmati oleh orang yang sama sekali tidak ia kenal.
Menurut Jansen, kedelapan etos kerja yang ia gagas itu bersumber pada kecerdasan emosional spiritual. Ia menjamin, semua konsep etos itu bisa diterapkan di semua pekerjaan. “Asalkan pekerjaan yang halal,” katanya. “Umumnya, orang bekerja itu  hanya untuk mencari gaji. Padahal pekerjaan itu punya banyak sisi. Kerja bukan hanya untuk mencari makan, tetapi juga mencari makna. Rata-rata kita menghabiskan waktu 30-40 tahun untuk bekerja. Setelah itu pensiun, lalu manula, dan pulang ke haribaan Tuhan. Manusia itu makhluk pencari makna. Kita harus berpikir, untuk apa menghabiskan waktu 40 tahun bekerja. Itukan waktu yang sangat lama.
Ada dua aturan sederhana supaya kita bisa antusias pada pekerjaan. Pertama, mencari pekerjaan yang sesuai dengan minat dan bakat. Dengan begitu, bekerja akan terasa sebagai kegiatan yang menyenangkan.
Jika aturan pertama tidak bisa kita dapatkan, gunakan aturan kedua: kita harus belajar mencintai pekerjaan. Kadang kita belum bisa mencintai pekerjaan karena belum mendalaminya dengan benar. “Kita harus belajar mencintai yang kita punyai dengan segala kekurangannya.
Dalam hidup, kadang kita memang harus melakukan banyak hal yang tidak kita sukai. Tapi kita tidak punya pilihan lain. Tidak mungkin kita mau enaknya saja.  Dalam dunia kerja, banyak masalah yang bisa tampil dalam berbagai macam bentuk. Gaji yang kecil, teman kerja yang tidak menyenangkan, atasan yang kurang empatik, dan masih banyak lagi.Namun, justru dari sini kita akan ditempa untuk menjadi lebih berdaya tahan.
#Semoga_Bermanfaat
Share this post :

Posting Komentar

 
Support : Link here | Link here | Link here
Dibuat Pada Tanggal © 27 Juli 2017. MTs. HASAN JUFRI - Oleh SaLam Palsuh
Website Milik MTs. Hasan Jufri Admin SaLam PaLsuh
Proudly powered by Blogger