Salah kegiatan ekstrakurikuler andalan MTs Hasan Jufri adalah pencak silat "Perisai Diri" dibawah asuhan Bapak Moh. Fathor Rizal, S.Pd.
Perisai Diri merupakan salah satu organisasi olahraga beladiri yang menjadi anggota IPSI (Ikatan Pencak Silat Indonesia), induk organisasi resmi pencak silat di Indonesia di bawah KONI (Komite Olahraga Nasional Indonesia). Perisai Diri menjadi salah satu dari sepuluh perguruan silat yang mendapat predikat Perguruan Historis karena mempunyai peran besar dalam sejarah terbentuk dan berkembangnya IPSI.
Perisai Diri didirikan secara resmi pada tanggal 2 Juli 1955 di Surabaya, Jawa Timur. Pendirinya adalah almarhum RM Soebandiman Dirdjoatmodjo, putra bangsawan Keraton Paku Alam. Sebelum mendirikan Perisai Diri secara resmi, beliau melatih silat di lingkungan Perguruan Taman Siswa atas permintaan pamannya, Ki Hajar Dewantor.
Teknik
silat Perisai Diri mengandung unsur 156 aliran silat dari berbagai daerah di
Indonesia ditambah dengan aliran Shaolin (Siauw Liem) dari negeri Tiongkok.
Pesilat diajarkan teknik beladiri yang efektif dan efisien, baik tangan kosong
maupun dengan senjata. Metode praktis dalam Perisai Diri adalah latihan Serang
Hindar yang mana menghasilkan motto “Pandai Silat Tanpa Cedera”
Pak
Dirdjo (panggilan akrab RM Soebandiman Dirdjoatmodjo) lahir di Yogyakarta pada
tanggal 8 Januari 1913 di lingkungan Keraton Paku Alam. Beliau adalah putra
pertama dari RM Pakoe Soedirdjo, buyut dari Paku Alam II. Sejak berusia 9 tahun
beliau telah dapat menguasai ilmu pencak silat yang ada di lingkungan keraton
sehingga mendapat kepercayaan untuk melatih teman-temannya di lingkungan daerah
Paku Alaman. Di samping pencak silat beliau juga belajar menari di Istana Paku
Alam sehingga berteman dengan Wasi dan Bagong Kusudiardjo.
Pak Dirdjo yang
pada masa kecilnya dipanggil dengan nama Soebandiman atau Bandiman oleh
teman-temannya ini, merasa belum puas dengan ilmu silat yang telah
didapatkannya di lingkungan istana Paku Alaman itu. Karena ingin meningkatkan
kemampuan ilmu silatnya, setamat HIK (Hollands Inlandsche Kweekschool) atau
sekolah menengah pendidikan guru setingkat SMP, beliau meninggalkan Yogyakarta
untuk merantau tanpa membawa bekal apapun dengan berjalan kaki. Tempat yang
dikunjunginya pertama adalah Jombang, Jawa Timur.
Di sana beliau
belajar silat pada KH Hasan Basri, sedangkan pengetahuan agama dan lainnya
diperoleh dari Pondok Pesantren Tebuireng. Di samping belajar, beliau juga
bekerja di Pabrik Gula Peterongan untuk membiayai keperluan hidupnya. Setelah
menjalani gemblengan keras dengan lancar dan dirasa cukup, beliau kembali ke
barat. Sampai di Solo beliau belajar silat pada Sayid Sahab. Beliau juga
belajar kanuragan pada kakeknya, Ki Jogosurasmo.
Beliau masih
belum merasa puas untuk menambah ilmu silatnya. Tujuan berikutnya adalah
Semarang, di sini beliau belajar silat pada Soegito dari aliran Setia Saudara.
Dilanjutkan dengan mempelajari ilmu kanuragan di Pondok Randu Gunting Semarang.
Rasa keingintahuan yang besar pada ilmu beladiri menjadikan Pak Dirdjo masih
belum merasa puas dengan apa yang telah beliau miliki. Dari sana beliau menuju
Cirebon setelah singgah terlebih dahulu di Kuningan. Di sini beliau belajar
lagi ilmu silat dan kanuragan dengan tidak bosan-bosannya selalu menimba ilmu
dari berbagai guru. Selain itu beliau juga belajar silat Minangkabau dan silat
Aceh.
Tekadnya untuk
menggabungkan dan mengolah berbagai ilmu yang dipelajarinya membuat beliau
tidak bosan-bosan menimba ilmu. Berpindah guru baginya berarti mempelajari hal
yang baru dan menambah ilmu yang dirasakannya kurang. Beliau yakin, bila segala
sesuatu dikerjakan dengan baik dan didasari niat yang baik, maka Tuhan akan
menuntun untuk mencapai cita-citanya. Beliau pun mulai meramu ilmu silat
sendiri. Pak Dirdjo lalu menetap di Parakan, Banyumas, dan membuka perguruan
silat dengan nama Eko Kalbu, yang berarti satu hati.
Di tengah
kesibukan melatih, beliau bertemu dengan seorang pendekar Tionghoa yang
beraliran beladiri Siauw Liem Sie (Shaolinshi), Yap Kie San namanya. Yap Kie
San adalah salah seorang cucu murid Louw Djing Tie dari Hoo Tik Tjay. Menurut
catatan sejarah, Louw Djing Tie merupakan seorang pendekar legendaris dalam
dunia persilatan, baik di Tiongkok maupun di Indonesia, dan salah satu tokoh
utama pembawa beladiri kungfu dari Tiongkok ke Indonesia. Dalam dunia
persilatan, Louw Djing Tie dijuluki sebagai Si Garuda Emas dari Siauw Liem Pay.
Saat ini murid-murid penerus Louw Djing Tie di Indonesia mendirikan perguruan
kungfu Garuda Emas.
Pak Dirdjo yang
untuk menuntut suatu ilmu tidak memandang usia dan suku bangsa lalu mempelajari
ilmu beladiri yang berasal dari biara Siauw Liem (Shaolin) ini dari Yap Kie San
selama 14 tahun. Beliau diterima sebagai murid bukan dengan cara biasa tetapi
melalui pertarungan persahabatan dengan murid Yap Kie San. Melihat bakat Pak
Dirdjo, Yap Kie San tergerak hatinya untuk menerimanya sebagai murid.
Berbagai cobaan
dan gemblengan beliau jalani dengan tekun sampai akhirnya berhasil mencapai
puncak latihan ilmu silat dari Yap Kie San. Murid Yap Kie San yang sanggup
bertahan hanya enam orang, di antaranya ada dua orang yang bukan orang
Tionghoa, yaitu Pak Dirdjo dan R Brotosoetarjo yang di kemudian hari mendirikan
perguruan silat Bima (Budaya Indonesia Mataram). Dengan bekal yang diperoleh
selama merantau dan digabung dengan ilmu beladiri Siauw Liem Sie yang diterima
dari Yap Kie San, Pak Dirdjo mulai merumuskan ilmu yang telah dikuasainya itu.
Setelah puas
merantau, beliau kembali ke tanah kelahirannya, Yogyakarta. Ki Hajar Dewantoro
(Bapak Pendidikan) yang masih Pakde-nya, meminta Pak Dirdjo mengajar silat di
lingkungan Perguruan Taman Siswa di Wirogunan. Di tengah kesibukannya mengajar
silat di Taman Siswa, Pak Dirdjo mendapatkan pekerjaan sebagai Magazijn Meester
di Pabrik Gula Plered.
Pada tahun 1947
di Yogyakarta, Pak Dirdjo diangkat menjadi Pegawai Negeri pada Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, Seksi Pencak Silat, yang dikepalai oleh Mochammad
Djoemali. Berdasarkan misi yang diembannya untuk mengembangkan pencak silat,
Pak Dirdjo membuka kursus silat melalui dinas untuk umum. Beliau juga diminta
untuk mengajar di Himpunan Siswa Budaya, sebuah unit kegiatan mahasiswa UGM
(Universitas Gadjah Mada). Murid-muridnya adalah para mahasiswa UGM pada
awal-awal berdirinya kampus tersebut. Pak Dirdjo juga membuka kursus silat di
kantornya. Beberapa murid Pak Dirdjo saat itu di antaranya adalah Ir Dalmono
yang saat ini berada di Rusia, Prof Dr Suyono Hadi (dosen Universitas
Padjadjaran Bandung), dan Bambang Mujiono Probokusumo yang di kalangan pencak
silat dikenal dengan nama panggilan Mas Wuk.
Tahun 1954 Pak
Dirdjo diperbantukan ke Kantor Kebudayaan Provinsi Jawa Timur, Urusan Pencak
Silat. Murid-murid beliau di Yogyakarta, baik yang berlatih di UGM maupun di
luar UGM, bergabung menjadi satu dalam wadah HPPSI (Himpunan Penggemar Pencak
Silat Indonesia) yang diketuai oleh Ir Dalmono.
Tahun 1955
beliau resmi pindah dinas ke Kota Surabaya. Dengan tugas yang sama, yakni
mengembangkan dan menyebarluaskan pencak silat sebagai budaya bangsa Indonesia,
Pak Dirdjo membuka kursus silat yang diadakan di Kantor Kebudayaan Provinsi
Jawa Timur, Surabaya. Dengan dibantu oleh Imam Romelan, beliau mendirikan
kursus silat PERISAI DIRI pada tanggal 2 Juli 1955.
Para muridnya
di Yogyakarta pun kemudian menyesuaikan diri menamakan himpunan mereka sebagai
silat Perisai Diri. Di sisi lain, murid-murid perguruan silat Eko Kalbu yang
pernah didirikan oleh Pak Dirdjo masih berhubungan dengan beliau. Mereka
tersebar di kawasan Banyumas, Purworejo dan Yogyakarta. Hanya saja perguruan
ini kemudian memang tidak berkembang, namun melebur dengan sendirinya ke
Perisai Diri, sama seperti HPPSI di Yogyakarta. Satu guru menjadikan peleburan
perguruan ini menjadi mudah.
Pengalaman yang
diperoleh selama merantau dan ilmu silat Siauw Liem Sie yang dikuasainya
kemudian dicurahkannya dalam bentuk teknik yang sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan anatomi tubuh manusia, tanpa ada unsur memperkosa gerak. Semuanya
berjalan secara alami dan dapat dibuktikan secara ilmiah. Dengan motto “Pandai Silat
Tanpa Cedera”, Perisai Diri diterima oleh berbagai lapisan masyarakat untuk
dipelajari sebagai ilmu beladiri.
Pada tahun
1969, Dr Suparjono, SH, MSi (Ketua Dewan Pendekar periode yang lalu) menjadi
staf Bidang Musyawarah PB PON VII di Surabaya. Dengan inspirasi dari AD/ART
organisasi-organisasi di KONI Pusat yang sudah ada, Suparjono bersama Bambang
Mujiono Probokusumo, Totok Sumantoro, Mondo Satrio dan anggota Dewan Pendekar
lainnya pada tahun 1970 menyusun AD/ART Perisai Diri dan nama lengkap organisasi
Perisai Diri disetujui menjadi Keluarga Silat Nasional Indonesia PERISAI DIRI
yang disingkat Kelatnas Indonesia PERISAI DIRI. Dimusyawarahkan juga mengenai
pakaian seragam silat Perisai Diri yang baku, yang mana sebelumnya berwarna
hitam dirubah menjadi putih dengan atribut tingkatan yang berubah beberapa kali
hingga terakhir seperti yang dipakai saat ini. Lambang Perisai Diri juga dibuat
dari hasil usulan Suparjono, Both Sudargo dan Bambang Priyokuncoro, yang
kemudian disempurnakan dan dilengkapi oleh Pak Dirdjo.
Tanggal 9 Mei
1983, RM Soebandiman Dirdjoatmodjo berpulang menghadap Sang Pencipta. Tanggung
jawab untuk melanjutkan teknik dan pelatihan silat Perisai Diri beralih kepada
para murid-muridnya yang kini telah menyebar ke seluruh pelosok tanah air dan
beberapa negara di Eropa, Amerika dan Australia. Dengan di bawah koordinasi Ir
Nanang Soemindarto sebagai Ketua Umum Pengurus Pusat, saat ini Kelatnas
Indonesia Perisai Diri memiliki cabang hampir di setiap provinsi di Indonesia
serta memiliki komisariat di 10 negara lain. Untuk menghargai jasanya, pada
tahun 1986 pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan gelar Pendekar Purna
Utama bagi RM Soebandiman Dirdjoatmodjo.
Posting Komentar